Dunia Wanita - Sahabat Wanita, banyak kita temukan istri yang menggunakan nama suami di belakang namanya, sebagaimana budaya Barat. Misalnya seorang istri bernama Ani menikah dengan Ardi, maka ia akan dipanggil Bu Ani Ardi, atau bahkan dipanggil Bu Ardi saja.
Padahal biasanya nama ayah kandung lah yang dicantumkan setelah nama kita untuk memperlihatkan nasab keturunan.
Lalu, bagaimana hukum fiqihnya? Ada 3 pendapat berbeda mengenai hal ini:
1. Membolehkan
Lembaga Fatwa Dar al-Ifta Mesir membolehkan penggunaan nama suami di belakang nama istri selama bukan bertujuan untuk mengalihkan nasab atau keturunan.
Fenomena pemakaian nama suami untuk nama belakang istri merupakan kebiasaan dan tradisi komunitas tertentu. Sepanjang tidak memicu kerancuan, maka tak jadi soal.
Dan, mengikuti tradisi barat tersebut tidak dikategorikan penyerupaan tasyabuh perilaku atau budaya non-Muslim yang dilarang agama.
Sebuah perkara dianggap penyerupaan bila memenuhi dua syarat, yakni pertama aktivitas yang ditiru tersebut termasuk perkara yang dilarang dan kedua, tidak ada niat untuk menyerupai dari si pelaku.
Jika kita perhatikan hadits riwayat Abu Sa’id al-Khudri, bahwa suatu ketika Zainab istri Abdullah bin Mas’ud datang kepada Rasulullah saw dan meminta izin untuk bertemu.
Lalu ada salah seorang yang ada di dalam rumah berkata, “Wahai Rasulullah, Zainab meminta izin untuk bertemu.” “Zainab siapa?” tanya Rasul. “Istri Ibnu Mas’ud.” Lalu beliau berkata, “Ya, persilahkan dia masuk.” (HR. Bukhari).
Pada hadits ini kita perhatikan penyebutan Zainab Ibnu Mas’ud di hadapan Rasul, dan beliau tidak melarangnya.
2. Melarang
Berdasarkan Fatawa Lajnah Daimah jilid 20 hal 379, dinyatakan larangan menambahkan nama suami di belakang nama istri karena ini memperlihatkan nasab atau keturunan dan menyerupai budaya kaum kafir.
Allah berfirman yang artinya, “Panggilan mereka dengan menasabkan mereka kepada ayah mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah.” (QS al Ahzab:5).
Berdasarkan penjelasan di atas maka tidak diperbolehkan menasabkan seorang wanita kepada suaminya sebagaimana kebiasaan orang-orang kafir dan kebiasaan sebagian kaum muslimin yang suka ikut-ikutan dengan ciri khas orang kafir”
3. Membolehkan dengan kondisi darurat
Opsi yang ketiga memperbolehkan dengan syarat dan ketentuan, antara lain, pemakaian nama suami sebagai nama belakang itu boleh dalam kondisi darurat.
Seperti, seorang Muslimah yang tinggal di negara-negara Barat. Otoritas setempat memberlakukan kebijakan tersebut untuk dokumen-dokumen resmi.
Sejumlah guru besar Universitas Al-Azhar Mesir mendukung opsi yang ketiga ini, antara lain, Prof Ablah al-Kahlawi, Aminah Nashir, dan Ahmad Husain.
Mantan dekan Fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar menambahkan, bila pada faktanya otoritas setempat tidak memberlakukan kebijakan tersebut dalam dokumen resmi, tradisi tersebut tidak boleh dilakukan umat Islam.
***
Demikianlah fatwa-fatwa mengenai penambahan nama suami di belakang nama istri, semoga menambah wawasan kita sebagai muslim.
Padahal biasanya nama ayah kandung lah yang dicantumkan setelah nama kita untuk memperlihatkan nasab keturunan.
Lalu, bagaimana hukum fiqihnya? Ada 3 pendapat berbeda mengenai hal ini:
1. Membolehkan
Lembaga Fatwa Dar al-Ifta Mesir membolehkan penggunaan nama suami di belakang nama istri selama bukan bertujuan untuk mengalihkan nasab atau keturunan.
Fenomena pemakaian nama suami untuk nama belakang istri merupakan kebiasaan dan tradisi komunitas tertentu. Sepanjang tidak memicu kerancuan, maka tak jadi soal.
Dan, mengikuti tradisi barat tersebut tidak dikategorikan penyerupaan tasyabuh perilaku atau budaya non-Muslim yang dilarang agama.
Sebuah perkara dianggap penyerupaan bila memenuhi dua syarat, yakni pertama aktivitas yang ditiru tersebut termasuk perkara yang dilarang dan kedua, tidak ada niat untuk menyerupai dari si pelaku.
Jika kita perhatikan hadits riwayat Abu Sa’id al-Khudri, bahwa suatu ketika Zainab istri Abdullah bin Mas’ud datang kepada Rasulullah saw dan meminta izin untuk bertemu.
Lalu ada salah seorang yang ada di dalam rumah berkata, “Wahai Rasulullah, Zainab meminta izin untuk bertemu.” “Zainab siapa?” tanya Rasul. “Istri Ibnu Mas’ud.” Lalu beliau berkata, “Ya, persilahkan dia masuk.” (HR. Bukhari).
Pada hadits ini kita perhatikan penyebutan Zainab Ibnu Mas’ud di hadapan Rasul, dan beliau tidak melarangnya.
2. Melarang
Berdasarkan Fatawa Lajnah Daimah jilid 20 hal 379, dinyatakan larangan menambahkan nama suami di belakang nama istri karena ini memperlihatkan nasab atau keturunan dan menyerupai budaya kaum kafir.
Allah berfirman yang artinya, “Panggilan mereka dengan menasabkan mereka kepada ayah mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah.” (QS al Ahzab:5).
Berdasarkan penjelasan di atas maka tidak diperbolehkan menasabkan seorang wanita kepada suaminya sebagaimana kebiasaan orang-orang kafir dan kebiasaan sebagian kaum muslimin yang suka ikut-ikutan dengan ciri khas orang kafir”
3. Membolehkan dengan kondisi darurat
Opsi yang ketiga memperbolehkan dengan syarat dan ketentuan, antara lain, pemakaian nama suami sebagai nama belakang itu boleh dalam kondisi darurat.
Seperti, seorang Muslimah yang tinggal di negara-negara Barat. Otoritas setempat memberlakukan kebijakan tersebut untuk dokumen-dokumen resmi.
Sejumlah guru besar Universitas Al-Azhar Mesir mendukung opsi yang ketiga ini, antara lain, Prof Ablah al-Kahlawi, Aminah Nashir, dan Ahmad Husain.
Mantan dekan Fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar menambahkan, bila pada faktanya otoritas setempat tidak memberlakukan kebijakan tersebut dalam dokumen resmi, tradisi tersebut tidak boleh dilakukan umat Islam.
***
Demikianlah fatwa-fatwa mengenai penambahan nama suami di belakang nama istri, semoga menambah wawasan kita sebagai muslim.
0 Response to "Bolehkah Menyematkan Nama Suami di Belakang Nama Istri"
Post a Comment