Dunia Wanita - Penyanyi yang namanya melejit 16 tahun lalu dengan album Cinta Rasul, Sulis, Selasa lalu (17/5), tampil di panggung bersama Emha “Cak Nun” Ainun Najib dan Kiai Kanjeng di Bantul Yogyakarta. Yang unik, di hadapan ribuan pasang mata, Sulis yang kini berusia 26 tahun tidak hanya melantunkan shalawat tapi juga lagu bergenre pop, kroncong, bahkan lagu Barat.
“Terserah mau nyanyi lagu apa, lagu pop, campur sari, terserah. Di sini ngga ada batasan,” kata Cak Nun sebelum memberikan waktu seluas-luasnya pada Sulis.
Sebagai penyanyi lagu-lagu yang dikenal ‘religius’, ternyata Sulis mengaku masih ada yang menudingnya menyanyikan lagu orang-orang kafir.
“Ya ngga tau ya, ada orang yang mengatakan ke saya, Sulis jangan nyanyi lagu ‘Ya Thoyba’ ya, itu lagunya orang kafir. Entah mengapa mereka menuduh kafir,” kata Sulis bingung sambil menjeskan di Youtube sendiri viewer-nya sudah lebih dari empat juta.
Jika dilihat ribuan komentar di Youtube, memang lagu ‘Ya Thoyba’ tidak lepas dari hujatan seperti apa yang didengar oleh Sulis di lapangan. Selama ini, Sulis kerap manggung sebagai penyanyi profesional yang tentunya harus memenuhi kesepakatan dengan yang mengundangnya. Wanita bersuara emas ini pun menceritakan sedikit suka duka pengalaman konsernya hingga di luar negeri. Karena tudingan itu, Sulis mengaku sempat merasa takut jika menyanyikan lagu yang dianggap kafir ini di tempat-tempat terbuka.
“Terus terang, malam ini, batin saya sangat puas. Selama ini saya hanya melantunkan suara sebagai penyanyi, tetapi malam ini saya benar-benar mencari kebahagiaan batin,” ungkap Sulis begitu gembira setelah melantunkan lagu ‘Ya Thoyba’ yang bahkan diikuti hadirin secara koor lalu disambung dengan tembang Jawa ‘Lir Ilir’.
Kedatangan pelantun lagu ‘Ummi’ ini ke Yogyakarta memang tidak untuk menjalankan profesinya sebagai penyanyi tapi untuk silaturahmi ke budayawan kondang yang juga akrab disapa ‘Mbah Nun’ itu. “Saya ke sini untuk mencari kemerdekaan,” katanya
Sebelumnya, wanita yang telah bersuami ini biasanya menyanyikan lagu-lagu ‘terlarang’ itu hanya sebatas ketika dia sedang di rumah. Namun saat wanita asal Solo ini tampil bersama Kiai Kanjeng di hadapan ribuan orang yang dikenal dengan jamaah Maiyah, Sulis pun seperti menemukan ‘keluarga baru’. Mereka bukan sekedar menerima dirinya, tapi juga memberikan kebebasan berekspresi.
“Malam ini, Sulis menyatakan bahwa saya adalah bagian dari Maiyah,” kata Sulis dengan nada haru setelah merasa dirinya diperlakukan di Maiyah layaknya saudara sendiri.
‘Maiyah’ sangat populer di kalangan orang-orang yang senantiasa mengikuti aktivitas Cak Nun di akar rumput bersama tim shalawat Kiai Kanjeng di berbagai desa hingga kota. Laki-laki, perempuan, tua, muda, dari berbagai latar suku, profesi, pendidikan, agama, mazhab datang berduyun-duyun, berkumpul, tanpa pendaftaran atau prosedur khusus lainnya. Mereka duduk berjam-jam bahkan tidak sedikit yang rela berdiri demi belajar menemukan hakikat manusia dalam wadah yang bernama Maiyah.
Oleh sebab itu, Maiyah juga dikenal sebagai forum belajar tapi dengan format sangat sederhana. Malam itu (17/5), sebagaimana ribuan orang lainnya, redaksi IslamIndonesia hanya duduk lesehan di atas tanah beralaskan koran dan beratapkan langit.
Tidak ada jarak yang begitu jauh antara audiens dengan narasumber. Semua ilmu dielaborasi bersama dengan interaksi dinamis dan elegan antara narasumber dan audiens. Di sela-sela diskusi, audiens juga menikmati elaborasi lagu berbagai genre yang dibawakan Kiai Kanjeng dengan kombinasi alat musik tradisional dan modern.
Secara bahasa, Maiyah diartikan juga ‘kebersamaan’. Oleh sebab itu, di forum yang telah berlangsung betahun-tahun ini, tertanam kultur bahwa setiap orang yang hadir berhak berbicara. Setiap orang berhak mengemukakan kebenaran menurut perspektifnya masing-masing, termasuk setuju atau tidak setuju. Sedemikian sehingga setidaknya tertanam pada jamaah Maiyah tiga bentuk keamanan di antara mereka: saling terjagannya martabat, harta dan nyawa.
“Katanya Cak Nun, di sini itu bebas. Ngga ada aturan. Karena setiap orang di sini bisa mengatur dirinya sendiri,” kata Sulis menggambarkan kegembiraanya berada di tengah-tengah Maiyah.
Forum Maiyah ini relatif rutin diadakan di sejumlah daerah seperti di Yogyakarta yang bernama Mocopat Syafaat telah berlangsung selama 20 tahun. Gembang Syafaat di Semarang dan Kenduri Cinta di Jakarta juga demikian. Bahkan Padhang Bulan di Jombang telah berusia 24 tahun.
Malam itu, di Mocopat Syafaat, Sulis bukan hanya mengembalikan kenangan dengan lagu ‘Ya Thoyba’, tapi juga lagu-lagu nostalgia seperti ‘Prau Layar’ ciptaan Ki Narto dan ‘Asmara’ yang pernah dinyanyikan Novia Kolopaking. Sedemikian akrabnya Sulis dan jamaah Maiyah malam itu, Cak Nun menahan Sulis yang telah minta izin turun dari panggung setelah menyanyikan sejumlah lagu.
“Hukumnya haram jika punya suara bagus tapi nyanyinya cuman sedikit,” kata Cak Nun bercanda disambut tawa para hadirin.
Kepada Cak Nun dan jamaah Maiyah, Sulis memohon didoakan tetap istiqamah di jalur Shalawat. Istiqamah di jalur ini, katanya, godaanya cukup banyak apalagi musim TV saat ini hampir tidak “menyediakan tempat”. Sebelum meninggalkan panggung, Sulis memperkenalkan lagu anyar, ‘Tinggalkan Aku Sendiri’. Lagu yang membuat suasana hening ini menceritakan tentang seseorang yang dihujat hanya karena mengekspresikan kecintaannya pada sang kekasih, Muhammad Saw.
sumber : islamindonesia.id
0 Response to "Lagu ‘Ya Thoyba’ Dituding Lagu Kafir, Sulis: Doakan Saya Istiqamah"
Post a Comment