Dunia Wanita - Sebuah artikel dari akhwatindonesia.com, yang berjudul "Istri Otomatis Tertalak, Jika Suami tak Shalat?", dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang meninggalkan shalat maka hukumnya adalah murtad sehingga konsekuensi dari murtad adalah bila ia tela menikah maka pernikahannya menjadi batal.
Menarik untuk dikaji kembali. Berangkat dari sini, ada dua hal penting yang menjadi objek kajian, yang pertama adalah mengenai hukum bagi yang meninggalkan shalat, dan selanjutnya adalah apakah pernikahan menjadi batal karena suami meninggalkan shalat?
Sebelum membahas lebih jauh mengenai masalah suami yang meninggalkan shalat, mari kita bahas terlebih dahulu mengenai ketentuan terhadap meninggalkan shalat.
Shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang telah mukallaf baik lelaki maupun perempuan. Sehingga apabila tertinggal baik karena uzur seperti lupa dan tertidur atau ditinggalkan dengan sengaja, menurut jumhur Ulama wajib hukumnya untuk di qadha (mengganti) shalat yang telah ditinggalkan tersebut.
A. Dalil Kewajiban Qadha Shalat
Di antara dalil yang menjadi landasan pensyariatan penggantian shalat yang terlewat adalah hadits-hadits berikut ini :
1. Hadits Pertama
Rasulullah SAW menegaskan tentang shalat yang terlewat karena lupa harus diganti begitu ingat.
2. Hadits Kedua
Al-Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah tertinggal dari mengerjakan shalat Shubuh, yaitu ketika beliau SAW dan sebagian shahabat dalam perjalanan pulang dari perang Khaibar. Lalu mereka bermalam dan tertidur tanpa sengaja (ketiduran), meskipun sebenarnya beliau SAW telah memerintahkan Bilal bin Rabah untuk berjaga. Dan mereka tidak bangun kecuali matahari telah terbit dan cukup tinggi posisinya.
Hadits ini diriwayatkan dan diredaksikan oleh Abu Hurairah radhiyallahuanhu, dan lengkapnya hadits tersebut sebagai berikut :
Al-Imam An-Nawawi ketika menjelaskan hadits ini di dalam kitab Syarah Shahih Muslim menegaskan bahwa hadits ini menjadi dalil atas wajibnya mengqadha’ atau mengganti shalat yang terlewat. Dan tidak ada bedanya, apakah shalat itu ditinggalkan karena adanya ‘udzur syar’i seperti tertidur dan terlupa, atau pun ditinggalkan shalat itu tanpa udzur syar’i, seperti karena malas dan lalai.
B. Ijma' Ulama Atas Wajibnya Qadha Shalat
Seluruh ulama dari semua mazhab fiqih yang ada, baik yang muktamad atau yang tidak, tanpa terkecuali telah berijjma' atas wajibnya qadha' shalat. Para ulama empat mazhab tanpa terkecuali satu pun telah bersepakat bahwa hukum mengqadha' shalat wajib yang terlewat wajib. Tidak ada satu pun ulama yang punya pendapat yang berbeda. Sebab dasar-dasar kewajibannya sangat jelas dan nyata, tidak ada satu pun orang Islam yang bisa menolak kewajiban qadha' shalat.
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Marghinani (w. 593 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Hidayah fi Syarhi Bidayati Al-Mubtadi sebagai berikut :
ومن فاتته صلاة قضاها إذا ذكرها وقدمها على فرض الوقت
Orang yang terlewat dari mengerjakan shalat, maka dia wajib mengqadha'nya begitu dia ingat. Dan harus didahulukan pengerjaanya dari shalat fardhu pada waktunya.
Ibnu Najim (w. 970 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut :
2. Mazhab Al-Malikiyah
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu diantara ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah sebagai berikut :
Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu tokoh ulama besar dalam mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalamnya kitabnya Adz-Dzakhirah sebagai berikut :
Ibnu Juzai Al-Kalbi (w. 741) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah sebagai berikut :
3. Mazhab As-Syafi'iyah
Asy-Syairazi (w. 476 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
An-Nawawi (w. 676 H) salah satu muhaqqiq terbesar dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
4. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan di dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :
C. Pendapat yang Tidak Mewajibkan Qadha Shalat
Dari pembahasan di atas telah jelaslah bagi kita bahwa mengqadha shalat hukumnya wajib baik itu karena uzur ataupun tidak. Namun demikian ada sebagian ulama, di antaranya Ibnu Hazm dan kemudian banyak diikuti oleh tokoh-tokoh masa kini, yang berpendapat bahwa yang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa udzur yang syar’i, maka sudah dianggap kafir, meski pun yang bersangkutan masih meyakini kewajiban shalat.
Al-Imam Ibnu Hazm Al-Andalusy di dalam kitabnya, Al-Muhalla bi Atsar, menegaskan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka statusnya kafir. Dan karena statusnya kafir, orang tersebut tidak perlu mengganti shalat yang ditinggalkannya secara sengaja. Dan bila kembali lagi memeluk Islam, cukup bertaubat saja tanpa perlu mengganti shalatnya.
Syeikh Abdul Aziz bin Baz, mufti Kerjaan Saudi Arabia, berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat secara total selama kurun waktu tertentu, tidak perlu mengganti shalatnya. Alasan yang dikemukakan pendapat ini adalah karena selama kurun waktu tertentu itu dirinya dianggap telah murtad atau keluar dari agama Islam. Dan sebagai orang yang bukan muslim, menurut pendapat ini, yang bersangkutan tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat.
Bila yang bersangkutan kembali menjalankan agamanya, maka dia harus bersyahadat ulang untuk memperbaharui keimanan dan keislamannya kembali, seperti orang kafir yang baru masuk Islam. Dan oleh karena itu, dia tidak perlu mengganti shalat-shalat yang ditinggalkannya.
Konsekuensi
Perhatikan alasan Ibnu Hazm dan pendukungnya ketika mengatakan bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tidak perlu mengganti shalatnya. Ternyata alasannya karena status orang tersebut kafir atau murtad. Dan oleh karena sudah kafir, maka tidak perlu mengganti shalat.
Padahal ketika seorang mufti memberi vonis murtad kepada seseorang, maka ada banyak konsekuensi yang tidak disadari oleh sang memberi fatwa. Di antara konsekuensi vonis murtad adalah :
1. Gugur Amal Sebelumnya
Seorang muslim yang murtad dan keluar dari agama Islam, maka gugurlah amal-amal yang pernah dilakukan sebelumnya. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
Para ulama mengatakan bisa seorang sudah pernah mengerjakan ibadah haji dalam Islam, lalu murtad dan kembali lagi masuk Islam, maka ibadah haji yang pernah dikerjakannya menjadi gugur, seolah-olah dia belum pernah mengerjakannya. Dan oleh karena itu ada kewajiban untuk mengulangi ibadah haji.
2. Istrinya Haram
Seseorang yang murtad keluar dari agama Islam, maka bila dia punya istri atau suami, secara otomatis menjadi haram untuk melakukan hubungan suami istri. Hal itu karena Islam mengharamkan terjadinya pernikahan antara muslim dan kafir.
Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bila salah satu pasangan murtad dari agama Islam, maka status pernikahan mereka menjadi fasakh (dibatalkan) tetapi bukan perceraian.
Mazhab Al-Malikiyah memandang bahwa bila salah satu pasangan suami istri murtad, maka statusnya adalah talak bain. Konsekuensinya, mereka diharamkan menjalankan kehidupan rumah tangga sebagaimana layaknya suami istri. Bila yang murtad itu kembali lagi memeluk agama Islam dengan bersyahadat, maka mereka harus menikah ulang dari awal.
Mazhab Asy-Syafi’iyah menyebutkan bahwa bila salah satu pasangan murtad, maka belum terjadi furqah di antara mereka berdua kecuali setelah lewat masa iddah. Dan bila pada masa iddah itu, si murtad kembali memeluk Islam, mereka masih tetap berstatus suami istri.
Namun bila sampai lewat masa iddah sementar si murtad tetap dalam kemurtadannya, maka hukum pernikahan di antara mereka bukan cerai tetapi fasakh.
3. Haram Menikah Dengan Siapa pun
Pasangan suami istri bila salah satunya murtad, maka terlepaslah ikatan pernikahan di antara mereka berdua. Tetapi bila orang yang murtad ini belum menikah, maka para ulama sepakat bahwa haram hukumnya untuk menikah, baik dengan pasangan muslim, atau pun pasangan yang beragam lain, atau pun dengan pasangan yang sama-sama murtad.
Hal itu karena orang yang murtad itu statusnya tidak beragama. Disini ada perbedaan mendasar antara murtad dan pindah agama. Murtad itu sebatas divonis keluar dari agama Islam, namun tidak lantas memeluk agama yang lain. Jadi status orang murtad itu tidak memeluk agama Islam dan juga tidak memeluk agama selain Islam, dia adalah orang yang statusnya tanpa agama.
D. Kesimpulan
Sebenarnya pendapat yang lebih rajih dan kuat adalah pendapat jumhur ulama. Yakni wajib qadha shalat baik yang tertinggal karena uzur ataupun tidak. selama ia berkeyakinan bahwa shalat hukumnya wajib namun ia hanya malas melaksanakannya maka status tetap sebagai seorang muslim, akan tetapi apabila meninggalkan shalat karena mengingkari kewajiban shalat maka telah jelaslah bahwa hukumnya murtad, sebab salah satu penyebab murtad adalah mengingkari kewajiban yang telah dibebankan oleh syariat.
Mengenai masalah suami yang sering meninggalkan shalat. Selama si suami berkeyakinan bahwa shalat hukumnya wajib namun ia hanya malas melaksanakannya. Maka status pernikahan masih tetap sah dan istri tidak tertalak lantaran si suami statusnya masih seorang muslim.
Namun, jika mengacu pada pendapat Ibnu Hazm, seseorang yang meninggalkan shalat telah divonis kafir. Sehingga apabila seorang suami meninggalkan shalat maka pernikahannya menjadi gugur secara otomatis alias pernikahannya batal dan isterinya menjadi tidak halal baginya.
Perlu kita ketahui juga, ijma' ulama merupakan landasan hukum yang sangat kuat, sebagaimana dalam sebuah hadist Rasulullah menyatakan "Umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan". Sehingga pendapat yang menyalahi ijma tidak masuk dalam perhitungan, dan pendapat tersebut tidak bisa menggugurkan ijma' yang telah ada.
Namun demikian, dalam menjalani bahtera rumah tangga, suami dan istri harus saling mengingatkan mengenai kewajiban shalat, jika suami malas maka menjadi tugas istri untuk mengingatkannya, sesekali "embargo" kan saja jika si suami malas
Menarik untuk dikaji kembali. Berangkat dari sini, ada dua hal penting yang menjadi objek kajian, yang pertama adalah mengenai hukum bagi yang meninggalkan shalat, dan selanjutnya adalah apakah pernikahan menjadi batal karena suami meninggalkan shalat?
Sebelum membahas lebih jauh mengenai masalah suami yang meninggalkan shalat, mari kita bahas terlebih dahulu mengenai ketentuan terhadap meninggalkan shalat.
Shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang telah mukallaf baik lelaki maupun perempuan. Sehingga apabila tertinggal baik karena uzur seperti lupa dan tertidur atau ditinggalkan dengan sengaja, menurut jumhur Ulama wajib hukumnya untuk di qadha (mengganti) shalat yang telah ditinggalkan tersebut.
A. Dalil Kewajiban Qadha Shalat
Di antara dalil yang menjadi landasan pensyariatan penggantian shalat yang terlewat adalah hadits-hadits berikut ini :
1. Hadits Pertama
Rasulullah SAW menegaskan tentang shalat yang terlewat karena lupa harus diganti begitu ingat.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda,”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat dan tidak ada tebusan kecuali melaksanakan shalat tersebut dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (HR. Bukhari)2. Hadits Kedua
Al-Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah tertinggal dari mengerjakan shalat Shubuh, yaitu ketika beliau SAW dan sebagian shahabat dalam perjalanan pulang dari perang Khaibar. Lalu mereka bermalam dan tertidur tanpa sengaja (ketiduran), meskipun sebenarnya beliau SAW telah memerintahkan Bilal bin Rabah untuk berjaga. Dan mereka tidak bangun kecuali matahari telah terbit dan cukup tinggi posisinya.
Hadits ini diriwayatkan dan diredaksikan oleh Abu Hurairah radhiyallahuanhu, dan lengkapnya hadits tersebut sebagai berikut :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ حِينَ قَفَلَ مِنْ غَزْوَةِ خَيْبَرَ سَارَ لَيْلَهُ حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْكَرَى عَرَّسَ وَقَالَ لِبِلاَلٍ اكْلأْ لَنَا اللَّيْلَ .
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu berkata,"Ketika Rasulullah SAW kembali dari perang Khaibar, beliau berjalan di tengah malam hingga ketika rasa kantuk menyerang beliau, maka beliau pun berhenti untuk istirahat (tidur). Namun beliau berpesan kepada Bilal,"Bangunkan kami bila waktu shubuh tiba".
فَصَلَّى بِلاَلٌ مَا قُدِّرَ لَهُ وَنَامَ رَسُولُ اللَّهِ وَأَصْحَابُهُ
Sementara itu Bilal shalat seberapa dapat dilakukannya, sedang Nabi dan para shahabat yang lain tidur.
فَلَمَّا تَقَارَبَ الْفَجْرُ اسْتَنَدَ بِلاَلٌ إِلَى رَاحِلَتِهِ مُوَاجِهَ الْفَجْرِ فَغَلَبَتْ بِلاَلاً عَيْنَاهُ وَهُوَ مُسْتَنِدٌ إِلَى رَاحِلَتِهِ فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ رَسُولُ اللَّهِ وَلاَ بِلاَلٌ وَلاَ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ حَتَّى ضَرَبَتْهُمُ الشَّمْسُ
Ketika fajar hampir terbit, Bilal bersandar pada kendaraannya sambil menunggu terbitnya fajar. Namun rasa kantuk mengalahkan Bilal yang bersandar pada untanya. Maka Rasulullah SAW, Bilal dan para shahabat tidak satupun dari mereka yang terbangun, hingga sinar matahari mengenai mereka.
فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ أَوَّلَهُمُ اسْتِيقَاظًا فَفَزِعَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ أَىْ بِلاَلُ . فَقَالَ بِلاَلٌ أَخَذَ بِنَفْسِى الَّذِى أَخَذَ - بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ - بِنَفْسِكَ
Yang mula-mula terbangun adalah Rasulullah SAW. Ketika terbangun, beliau berkata,"Mana Bilal". Bilal menjawab,"Demi Allah, Aku tertidur ya Rasulullah".
قَالَ اقْتَادُوا . فَاقْتَادُوا رَوَاحِلَهُمْ شَيْئًا ثُمَّ تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ وَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَقَامَ الصَّلاَةَ فَصَلَّى بِهِمُ الصُّبْحَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ مَنْ نَسِىَ الصَّلاَةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ قَالَ (أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى)
Beliau bersada,"Bersiaplah". Lalu mereka menyiapkan kendaraan mereka. Lalu Rasulullah SAW berwudhu' dan memerintahkan Bilal melantunkan iqamah dan Nabi SAW mengimami shalat Shubuh. Seselesainya, beliau bersabda,"Siapa yang lupa shalat maka dia harus melakukannya begitu ingat. Sesungguhnya Allah berfirman,"Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku. (HR. Muslim)Al-Imam An-Nawawi ketika menjelaskan hadits ini di dalam kitab Syarah Shahih Muslim menegaskan bahwa hadits ini menjadi dalil atas wajibnya mengqadha’ atau mengganti shalat yang terlewat. Dan tidak ada bedanya, apakah shalat itu ditinggalkan karena adanya ‘udzur syar’i seperti tertidur dan terlupa, atau pun ditinggalkan shalat itu tanpa udzur syar’i, seperti karena malas dan lalai.
B. Ijma' Ulama Atas Wajibnya Qadha Shalat
Seluruh ulama dari semua mazhab fiqih yang ada, baik yang muktamad atau yang tidak, tanpa terkecuali telah berijjma' atas wajibnya qadha' shalat. Para ulama empat mazhab tanpa terkecuali satu pun telah bersepakat bahwa hukum mengqadha' shalat wajib yang terlewat wajib. Tidak ada satu pun ulama yang punya pendapat yang berbeda. Sebab dasar-dasar kewajibannya sangat jelas dan nyata, tidak ada satu pun orang Islam yang bisa menolak kewajiban qadha' shalat.
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Marghinani (w. 593 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Hidayah fi Syarhi Bidayati Al-Mubtadi sebagai berikut :
ومن فاتته صلاة قضاها إذا ذكرها وقدمها على فرض الوقت
Orang yang terlewat dari mengerjakan shalat, maka dia wajib mengqadha'nya begitu dia ingat. Dan harus didahulukan pengerjaanya dari shalat fardhu pada waktunya.
Ibnu Najim (w. 970 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut :
أن كل صلاة فاتت عن الوقت بعد ثبوت وجوبها فيه فإنه يلزم قضاؤها سواء تركها عمدا أو سهوا أو بسبب نوم وسواء كانت الفوائت كثيرة أو قليلة
Bahwa tiap shalat yang terlewat dari waktunya setelah pasti kewajibannya, maka wajib untuk diqadha', baik meninggalkannya dengan sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang ditinggalkan itu banyak atau sedikit.2. Mazhab Al-Malikiyah
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu diantara ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah sebagai berikut :
ومن نسي صلاة مكتوبة أو نام عنها فليصلها إذا ذكرها فذلك وقتها
Orang yang lupa mengerjakan shalat wajib atau tertidur, maka wajib atasnya untuk mengerjakan shalat begitu dia ingat, dan itulah waktunya bagi dia.Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu tokoh ulama besar dalam mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalamnya kitabnya Adz-Dzakhirah sebagai berikut :
الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي الْقَضَاءِ وَهُوَ وَاجِبٌ فِي كُلِّ مَفْرُوضَةٍ لَمْ تفعل
Pasal pertama tentang qadha. Mengqadha' hukumnya wajib atas shalat yang belum dikerjakan.Ibnu Juzai Al-Kalbi (w. 741) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah sebagai berikut :
الْقَضَاء إِيقَاع الصَّلَاة بعد وَقتهَا وَهُوَ وَاجِب على النَّائِم وَالنَّاسِي إِجْمَاعًا وعَلى الْمُعْتَمد
Qadha' adalah mengerjakan shalat setelah lewat waktunya dan hukumnya wajib, baik bagi orang yang tertidur, terlupa atau sengaja.3. Mazhab As-Syafi'iyah
Asy-Syairazi (w. 476 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
ومن وجبت عليه الصلاة فلم يصل حتى فات الوقت لزمه قضاؤها
Orang yang wajib mengerjakan shalat namun belum mengerjakannya hingga terlewat waktunya, maka wajiblah atasnya untuk mengqadha'nya.An-Nawawi (w. 676 H) salah satu muhaqqiq terbesar dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
من لزمه صلاة ففاتته لزمه قضاؤها سواء فاتت بعذر أو بغيره فإن كان فواتها بعذر كان قضاؤها على التراخي ويستحب أن يقضيها على الفور
Orang yang wajib atasnya shalat namun melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha'nya, baik terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewatnya karena udzur boleh mengqadha'nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab.4. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan di dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :
إذا كثرت الفوائت عليه يتشاغل بالقضاء ما لم يلحقه مشقة في بدنه أو ماله
Bila shalat yang ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha'nya, selama tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya.C. Pendapat yang Tidak Mewajibkan Qadha Shalat
Dari pembahasan di atas telah jelaslah bagi kita bahwa mengqadha shalat hukumnya wajib baik itu karena uzur ataupun tidak. Namun demikian ada sebagian ulama, di antaranya Ibnu Hazm dan kemudian banyak diikuti oleh tokoh-tokoh masa kini, yang berpendapat bahwa yang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa udzur yang syar’i, maka sudah dianggap kafir, meski pun yang bersangkutan masih meyakini kewajiban shalat.
Al-Imam Ibnu Hazm Al-Andalusy di dalam kitabnya, Al-Muhalla bi Atsar, menegaskan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka statusnya kafir. Dan karena statusnya kafir, orang tersebut tidak perlu mengganti shalat yang ditinggalkannya secara sengaja. Dan bila kembali lagi memeluk Islam, cukup bertaubat saja tanpa perlu mengganti shalatnya.
Syeikh Abdul Aziz bin Baz, mufti Kerjaan Saudi Arabia, berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat secara total selama kurun waktu tertentu, tidak perlu mengganti shalatnya. Alasan yang dikemukakan pendapat ini adalah karena selama kurun waktu tertentu itu dirinya dianggap telah murtad atau keluar dari agama Islam. Dan sebagai orang yang bukan muslim, menurut pendapat ini, yang bersangkutan tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat.
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ رواه مسلم
Batas antara seseorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim)
العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةَ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkan shalat maka dia telah kafir.Bila yang bersangkutan kembali menjalankan agamanya, maka dia harus bersyahadat ulang untuk memperbaharui keimanan dan keislamannya kembali, seperti orang kafir yang baru masuk Islam. Dan oleh karena itu, dia tidak perlu mengganti shalat-shalat yang ditinggalkannya.
Konsekuensi
Perhatikan alasan Ibnu Hazm dan pendukungnya ketika mengatakan bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tidak perlu mengganti shalatnya. Ternyata alasannya karena status orang tersebut kafir atau murtad. Dan oleh karena sudah kafir, maka tidak perlu mengganti shalat.
Padahal ketika seorang mufti memberi vonis murtad kepada seseorang, maka ada banyak konsekuensi yang tidak disadari oleh sang memberi fatwa. Di antara konsekuensi vonis murtad adalah :
1. Gugur Amal Sebelumnya
Seorang muslim yang murtad dan keluar dari agama Islam, maka gugurlah amal-amal yang pernah dilakukan sebelumnya. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَـئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah : 217)
وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah : 5)Para ulama mengatakan bisa seorang sudah pernah mengerjakan ibadah haji dalam Islam, lalu murtad dan kembali lagi masuk Islam, maka ibadah haji yang pernah dikerjakannya menjadi gugur, seolah-olah dia belum pernah mengerjakannya. Dan oleh karena itu ada kewajiban untuk mengulangi ibadah haji.
2. Istrinya Haram
Seseorang yang murtad keluar dari agama Islam, maka bila dia punya istri atau suami, secara otomatis menjadi haram untuk melakukan hubungan suami istri. Hal itu karena Islam mengharamkan terjadinya pernikahan antara muslim dan kafir.
Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bila salah satu pasangan murtad dari agama Islam, maka status pernikahan mereka menjadi fasakh (dibatalkan) tetapi bukan perceraian.
Mazhab Al-Malikiyah memandang bahwa bila salah satu pasangan suami istri murtad, maka statusnya adalah talak bain. Konsekuensinya, mereka diharamkan menjalankan kehidupan rumah tangga sebagaimana layaknya suami istri. Bila yang murtad itu kembali lagi memeluk agama Islam dengan bersyahadat, maka mereka harus menikah ulang dari awal.
Mazhab Asy-Syafi’iyah menyebutkan bahwa bila salah satu pasangan murtad, maka belum terjadi furqah di antara mereka berdua kecuali setelah lewat masa iddah. Dan bila pada masa iddah itu, si murtad kembali memeluk Islam, mereka masih tetap berstatus suami istri.
Namun bila sampai lewat masa iddah sementar si murtad tetap dalam kemurtadannya, maka hukum pernikahan di antara mereka bukan cerai tetapi fasakh.
3. Haram Menikah Dengan Siapa pun
Pasangan suami istri bila salah satunya murtad, maka terlepaslah ikatan pernikahan di antara mereka berdua. Tetapi bila orang yang murtad ini belum menikah, maka para ulama sepakat bahwa haram hukumnya untuk menikah, baik dengan pasangan muslim, atau pun pasangan yang beragam lain, atau pun dengan pasangan yang sama-sama murtad.
Hal itu karena orang yang murtad itu statusnya tidak beragama. Disini ada perbedaan mendasar antara murtad dan pindah agama. Murtad itu sebatas divonis keluar dari agama Islam, namun tidak lantas memeluk agama yang lain. Jadi status orang murtad itu tidak memeluk agama Islam dan juga tidak memeluk agama selain Islam, dia adalah orang yang statusnya tanpa agama.
D. Kesimpulan
Sebenarnya pendapat yang lebih rajih dan kuat adalah pendapat jumhur ulama. Yakni wajib qadha shalat baik yang tertinggal karena uzur ataupun tidak. selama ia berkeyakinan bahwa shalat hukumnya wajib namun ia hanya malas melaksanakannya maka status tetap sebagai seorang muslim, akan tetapi apabila meninggalkan shalat karena mengingkari kewajiban shalat maka telah jelaslah bahwa hukumnya murtad, sebab salah satu penyebab murtad adalah mengingkari kewajiban yang telah dibebankan oleh syariat.
Mengenai masalah suami yang sering meninggalkan shalat. Selama si suami berkeyakinan bahwa shalat hukumnya wajib namun ia hanya malas melaksanakannya. Maka status pernikahan masih tetap sah dan istri tidak tertalak lantaran si suami statusnya masih seorang muslim.
Namun, jika mengacu pada pendapat Ibnu Hazm, seseorang yang meninggalkan shalat telah divonis kafir. Sehingga apabila seorang suami meninggalkan shalat maka pernikahannya menjadi gugur secara otomatis alias pernikahannya batal dan isterinya menjadi tidak halal baginya.
Perlu kita ketahui juga, ijma' ulama merupakan landasan hukum yang sangat kuat, sebagaimana dalam sebuah hadist Rasulullah menyatakan "Umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan". Sehingga pendapat yang menyalahi ijma tidak masuk dalam perhitungan, dan pendapat tersebut tidak bisa menggugurkan ijma' yang telah ada.
Namun demikian, dalam menjalani bahtera rumah tangga, suami dan istri harus saling mengingatkan mengenai kewajiban shalat, jika suami malas maka menjadi tugas istri untuk mengingatkannya, sesekali "embargo" kan saja jika si suami malas
Wallaahu a'lam....
Sumber : catatanfiqih.com
Jgn berfikiran sempit deh kl jadi org muslim tuh harus cerdas. Jgn main2 dlm memberi org awam fatwa. Nanti kamu yg tanggung akibat dari fatwa itu diakhirat.. dalil yg kamu tulis seakan2 menyatukan yg hak dan yg batil.. ingat itu perbuatan ulama suu yg lebih buruk dari perbuatan org kafir karna dpt membuat org sesat.
ReplyDelete